Anda mungkin familiar dengan burung kutilang, perkutut atau murai, tapi pernahkan anda mendengar burung tepus gelagah (Timalia pileata) Seperti namanya burung ini sering dijumpai pada rerumputan tinggi. Tentu akan sulit menemukannya di pekarangan rumah anda, kecuali rumah anda berada di tengah sawah. Dewasa ini tepus gelagah cukup sukar ditemui, berdasarkan laporan perjumpaan di Burungnesia, hanya ada sekitar 31 cheklist, miris! Anda mungkin sudah menduga alasannya. Burung ini akan lebih mudah dijumpai di pasar burung, ketimbang di pekarangan anda (kalau betul rumah anda di tengah sawah), kita patut mencurigai lengketnya pulut dan jaring para tukang pikat, karena dari sanalah kisah kepunahan lokal banyak burung dimulai. Atau jangan-jangan anda salah satu dari mereka. Jika iya saya tak yakin anda akan membaca kelanjutan tulisan ini.
Sekitar sepekan lalu, tim Birdpacker mendapatkan informasi keberadaan tepus gelagah dari seorang fotografer Wildlife, yang akrab disapa dengan Djihadi Nopoto. “Lokasinya tak jauh dari rumah, saya biasa ke sana jalan kaki, Pak Nasis” begitu tutur beliau kepada Pak Bos, sekaligus sambutan setibanya kami di rumah beliau. Tempat tersebut memakan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan darat dari markas Birdpacker.
Bersama Abah Djihadi, kami tancap gas menuju persembunyian si tepus, kami tak ingin narasi ini panjang-panjang, jadi sebut saja kebun tebu, untuk mewakili hunian burung itu. Feeling kami cukup bagus kala itu, cuaca mendukung dan kicauan merdu burung-burung mengiringi langkah kami. Berselang setengah jam, belum ada tanda-tanda kehadiran burung yang jadi target. Untungnya komandan Swiss melakukan ritual pemanggilan andalannya, serangkaian mantra yang digelontorkan ternyata membuahkan hasil !.
“Cukrik… krikk, tulikuk… tulikluk” seolah tanpa aba-aba, pandangan kami tertuju ke sumber suara. “Nah disana Pak” salah seorang dari kami menyahut. Kami sepakat untuk mengendap-endap dan menggerebek si target. Pucuk dicinta tepus pun tiba, kabar baiknya sepasang burung tepus tengah berseliweran di antara kami. Rentetan jepretan shutter yang tanpa ampun dari abah, seolah menggambarkan kebahagiaan kami yang tak terbendung. Tepus gelagah bukan burung murahan alias jaim, sehingga barang tentu bukan foto burung yang kami dapat melainkan tunggak kayu bekas pijakan kakinya. Sungguh burung yang lincah!
Waktu menunjukkan pukul 12.20 WIB. Setelah jepretan foto dirasa cukup, Revan content creator kami, memberi kode dengan perutnya yang nyaring, “lapar, Pak?” tanya si bos. Wajar saja, mungkin itu imbas karena perut belum terisi suatu apapun hingga lewat jam makan siang, karena kami harus berangkat pagi-pagi buta. Abah seolah tau dengan gelagat kami yang lapar, “ada warung pecel wenak tepi jalan, hayuk kesana, mas!” usul beliau. kami mengiyakan usul abah tanpa banyak tanya. Warung pecel kami datang!
Jika kalian mengira perjalanan kami berakhir di warung pecel, anda keliru. Bapak-bapak (eh bukan, om-om deh), dengan dua motor gedenya menemui kami di warung sebelah jalan raya itu, sesaat sebelum nasi di piring kami habis. Om Ryan mengundang kami untuk pengamatan ke lereng Gunung Semeru. Om Ryan dan rekannya, om Dedi baru saja dipindah tugaskan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Sehingga sudah semestinya melakukan eksplorasi daerah tersebut untuk mengetahui batas-batas wilayah kerjanya. kisah pun berlanjut…
Dari Turen Kami menempuh setidaknya dua setengah jam untuk sampai lokasi, berbeda dari statement Google map yang bilang kalau cuma 1,2 jam. Durasi itu mungkin tak memperhitungkan curamnya jalan yang kami lewati, belum lagi jalan makadam, hingga ungkapan ‘jalan’ kurang sesuai untuk menggambarkan kondisinya. Apalagi untuk mobil pribadi milik abah, kebetulan beliau berbaik hati dan mempersilahkan kami untuk nebeng di mobilnya. Kami bercerita banyak selama di Mobil, Abah yang mendominasi obrolan dengan melempar belasan, atau mungkin puluhan pertanyaan pada kami terkait dunia perkunaman (istilah perburungan di Malang). Oki, verifikator Burungnesia yang baru, tertidur dengan pulasnya selama perjalanan, seakan tak menggubris goncangan demi gonjangan akibat jalur yang rusak. “Remek, emang nih anak!” umpat si bos geram.
Setibanya di lokasi pukul 14.21 WIB, kami disambut dengan kabut tebal nan dingin menambah kesan tingginya tempat kami berdiri. Tak berselang lama, hujan pun tiba. Kami berteduh di sebuah kantin, anda mungkin heran kenapa ada kantin di lereng Semeru di ketinggian 1.400 mdpl? Mepet hutan lagi? Candi Jawar adalah nama lokasi tersebut. Bangunan peribadatan dari beberapa agama ada disana. Gazebo, kabin dan kantin dimana kami ngopi untuk menunggu hujan reda. Dua atau tiga seruputan kopi berlalu, tak terasa setiap gelas dari kami sudah mendekati habis, hujan memberi kami kesempatan untuk birding. Burung berkicau dari balik pepohonan, seolah mengiringi hujan yang mereda. Beberapa jenis burung teramati dari balik binokuler, sikatan ninon, opior jawa, hingga sikep madu asia, berhasil kami tambahkan dalam catatan. Setelah mondar-mandir mengitari area candi. Suasana mulai sepi, malam pun datang. pengamatan hari itu diakhiri dengan beristirahat di kabin yang disediakan oleh pengelola. Sungguh beruntung, apalagi jika kalian kurang persiapan.
Pagi sekali pengamatan pun dimulai, pengamatan berlangsung khidmat, apalagi sokongan makanan dari kantin yang menambah semangat. Burung yang berhasil kita amati cukup banyak. Hutan yang masih asri, meskipun sebagian lokasinya sudah menjadi ladang garapan adalah habitat yang ideal untuk semua kalangan burung (kecuali burung pantai, tentu saja). Kelimpahan burung disini terbukti dari deretan foto dan catatan yang dihasilkan. Beberapa burung yang tercatat diantaranya adalah :
- Bentet kelabu
- Bondol Jawa
- Brinji gunung
- Bubut besar
- Burung madu gunung
- Burung madu ornate
- Cabai gunung
- Cabai jawa
- Caladi ulam
- Cekakak jawa
- Cekakak sungai
- Ceret jawa
- Cici padi
- Cinenen jawa
- Cinenen pisang
- Cingcoang coklat
- Cipoh kacat
- Ciung batu siul
- Elang hitam
- Kepudang sungu gunung
- Kutilang
- Madu kelapa
- Opior jawa
- Pentis pelangi
- Perenjak padi,
- Perenjak rawa
- Perkutut
- Sepah kecil
- Sikatan ninon
- Sikep madu asia
- Takur tohtor
- Tekukur biasa
- Uncal buau
- Walet linchi
- Wiwik sp.
Tak terasa sudah setengah hari berlalu, Pak Hermawan, sopir pribadi abah mengusulkan untuk turun, sebelum hujan mendahului. Kami tak bisa membayangkan jalan yang sulit tadi, ditempuh dalam kondisi hujan. kami sepakat untuk mengakhiri sesi pengamatan dengan totalan pada si empunya kantin Candi Jawar. Sekaligus berterima kasih atas fasilitas yang disuguhkan. Lokasinya sangat recommended, apalagi untuk pengamatan bareng keluarga, juga tetap ingat sang maha kuasa. Kami cukupkan kisah kali ini, jangan lupa nantikan edisi harian Birdpacker selanjutnya,
Adios Amigos !
scribe by : Oki Rahmatirta and Swiss Winasis | @Birdpacker
photo by : Swiss Winasis | @Birdpacker